Minggu, 01 Januari 2012

Wujud Kebudayaan Masyarakat Indonesia (Perbandingan Suku Minang dan Suku Anak Dalam Jambi)


Ide/Gagasan

Negara yang mendapat julukan sebagai negara maritim dan dikenal sebagai pemilik banyak pulau se-dunia dengan jumlah kurang lebih 17.504 buah pulau, (7.870 diantaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama) yang bernama Indonesia ini memiliki keunikan dari berbagai macam suku bangsa serta keramahan penduduk yang mendiaminya. Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berarti ‘walaupun berbeda tapi tetap satu jua’ adalah negara yang memiliki sekitar 300 bahasa/dialek daerah. Tidak mengherankan jika diketahui bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan karena terdapat sekitar 1.128 suku bangsa yang telah ‘bermukim’ di negara ini. 
Kebudayaan sendiri memiliki pengertian sebagai seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dari sekian banyak suku bangsa tersebut terpilih dua suku yang akan dibahas lebih lanjut yaitu Suku Minang (Sumatera Barat) dan Suku Anak Dalam Jambi (Suku Rimba).

a.       Suku Minang (Sumatera Barat)


      Menurut pendapat Ali Sinapa dalam buku Etnis dan adat Minangkabau, Etnis Minang adalah suatu etnis yang unik, sebenarnya sangat menarik untuk dikaji dan diteliti. Terdapat beberapa pendapat mengenai etimologi pada kata Minangkabau. Salah satunya adalah yang tertulis pada wikipedia, Minang berasal dari kata Manang sedangkan Kabau berarti kerbau dalam bahasa Minang yang jika disatukan berarti Manang Kabau. Konon nama ini muncul setelah kemenangan rakyat minang setelah melawan pendatang yang ingin melakukan penaklukan wilayah dengan cara tanding kerbau. Suku Minang adalah penganut matrilinial (sistem kekerabatan menurut garis ibu) dan sangat menonjol dalam bidang perdagangan dan pemerintahan. Kurang lebih dua pertiga dari jumlah keseluruhan anggota suku ini berada dalam perantauan. 

b.      Suku Anak Dalam Jambi


      Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Terdapat pula beberapa cerita tentang asal usul suku anak dalam ini seperti Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi

Aktifitas 

         1.  Suku Minang

      Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat".  Terdapat kontradiksi antara pola matrilineal dengan pola pewarisan yang diajarkan oleh agama Islam yang menjadi anutan hampir seluruh suku Minang. Oleh sebab itu dalam pola pewarisan suku Minang, dikenal harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Harta pusaka tinggi merupakan harta turun temurun yang diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu, sedangkan harta pusaka rendah merupakan harta pencarian yang diwariskan secara faraidh berdasarkan hukum Islam.
      Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka.
    Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminangdan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghuluatau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
      Masyarakat Minang sangat terkenal dengan kepandaiannya dalam berniaga, dunia pendidikan dan perantauan. Terdapat istilah minangkabau perantauan yaitu istilah yang digunakan untuk orang Minang yang hidup di luar Sumatera Barat. Merantau merupakan proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Kegiatan ini merupakan sebuah petualangan pengalaman dan geografis dengan meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. 

2.  Suku Anak Dalam (Suku Kubu)

    Pada awalnya untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya, Suku Anak Dalam, melaksanakan kegiatan berburu, meramu, menangkap ikan dan memakan buah-buahan yang ada di dalam hutan. Namun dengan perkembangan pengetahuan dan peralatan hidup yang digunakan akibat adanya akulturasi budaya dengan masyarakat luar, kini telah mengenal pengetahuan pertanian dan perkebunan.
      Dalam pengelolaan sumber daya hutan, Orang Rimba mengenal wilayah peruntukan seperti adanya Tanoh Peranokon, rimba, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai sistem suksesi sumber daya hutan mereka. Hutan yang disebut rimba oleh mereka, diolah sebagai ladang sebagai suplai makanan pokok (ubi kayu, padi ladang, ubi jalar), kemudian setelah ditinggalkan berubah menjadi sesap. Sesap merupakan ladang yang ditinggalkan yang masih menghasilkan sumber pangan bagi mereka. Selanjutnya setelah tidak menghasilkan sumber makanan pokok, sesap berganti menjadi belukor. Belukor meski tidak menghasilkan sumber makanan pokok, tetapi masih menyisakan tanaman buah-buahan dan berbagai tumbuhan yang bermanfaat bagi mereka seperti durian, duku, pohon setubung dan tenggeris (sebagai tempat menanam tali pusar bayi yang baru lahir), pohon benal (daunnya digunakan untuk atap rumah), kayu berisil (digunakan untuk tuba ikan) dan berbagai jenis rotan termasuk manau dan jernang.
    Benuaron memiliki fungsi yang sangat besar bagi Orang Rimba, dimana selain berperan sebagai sumber makanan (buah-buahan) dan kayu bermanfaat (pohon benal, sialong, dan berisil) juga berperan sebagai tanoh peranokon. Tanah peranokon merupakan tempat yang sangat dijaga keberadaanya, tidak boleh dibuka atau dialih fungsikan untuk lahan kegiatan lain, misalnya untuk lahan perladangan atau kebun karena merupakan tempat proses persalinan ibu dalam melahirkan bayi. Tanoh peranokon yang dipilih biasanya yang relatif dekat dengan tempat permukiman atau ladang mereka serta sumber air atau sungai. Seiring berjalannya waktu, disaat seluruh tumbuhan yang terdapat di benuaron tersebut semakin besar dan tua, maka pada akhirnya benuaron tersebut kembali menjadi rimba.
     Rotasi penggunaan sumber daya hutan dari rimba menjadi ladang kemudian sesap, belukor dan benuaron, terakhir kembali menjadi rimba, merupakan warisan budaya mereka sehingga patut kita cermati juga bahwa Orang Rimba yang tergolong sebagai masyarakat terasing, ternyata memiliki kearifan tradisional dimana selama ini dilupakan oleh masyarakat atau pemerintah pusat.
    Berbeda dengan suku Minang yang dulu sempat menganut agama Budha terutama pada zaman kerajaan Sriwijaya dan Dharmasraya serta tetap berpegang pada adat disamping  mengikuti perkembangan zaman, Suku Anak Dalam melakukan hal sebaliknya. Suku Anak Dalam dikenal sangat patuh terhadap adat istiadat yang sudah dianggap ‘harga mati’ sehingga dikenal pula hukum rimba atau disebut ‘seloka adat’. Misalnya, masyarakat Desa Rantau Keloyang, Kecamatan Pelepat, sampai sekarang masih memelihara tradisi dalam mencari pasangan hidup. Campur tangan tetua adat sangat dominan dalam perjodohan. Bahkan sang calon pengantin pria pun diuji kemahiran meniti sebatang kayu Antuy yang dikupas kulitnya sehingga licin. Jika berhasil (tidak jatuh), maka pria tersebut berhak mempersunting gadis idamannya.

     Seorang anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merupakan peristiwa yang sangat menyedihkan bagi seluruh warga Suku, terutama pihak keluarganya. Kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut tempat sial, selain untuk dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama, yang pada jaman dulu bisa berlangsung antara 10 sampai 12 tahun. Namun kini karena wilayah mereka sudah semakin sempit (Taman Nasional Buki XII) karena banyak dijarah oleh orang, maka masa melangun menjadi semakin singkat yaitu sekitar 4 bulan sampai satu tahun. Wilayah melangun merekapun semakin dekat, tidak sejauh dahulu.
     Pada masa sekarang apabila terjadi kematian di suatu daerah, juga tidak seluruh anggota Suku Anak Dalam tersebut yang pergi melangun. Hanya angota keluarga-keluarga mendiang saja yang melakukannya. Pada saat kematian terjadi, seluruh anggota keluarga Suku Anak Dalam yang meninggal dunia merasa sedih yang mendalam, mereka menangis dan meraung-raung selama satu minggu. Sebagian wanitanya sampai menghempas-hempaskan badannya ke pohon besar atau tanah, ada yang berteriak dan berkata-kata “ya Tuhan kami kembalikan nyawo urang kami yang mati.” Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 Km ke dalam hutan. Pondok jenazah ini jika untuk orang dewasa tingginya 12 undukan dari tanah, jika anak-anak tingginya 4 undukan dari tanah. Pondok ini diberi alas dari batang-batang kayu bulat kecil dan diberi atap daun-daun kering. Jenazah Suku Anak Dalam tidak dimandikan dan dikuburkan dalam tanah. Menurut tradisi meraka, orang yang sudah meninggal masih mungkin hidup kembali, jika mereka dikuburkan dalam tanah, maka orang yang sudah meninggal tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bangkit kembali menemui kelompoknya.
    Kepercayaan tersebut bermula dari peristiwa dahulu kala dimana orang yang sudah sekarat (mungkin pingsan dalam waktu yang lama) ditinggalkan oleh kelompoknya di sebuah pondok di dalam hutan, dan kemudian ternyata ada di antara mereka yang dapat hidup dan sehat kembali serta pulang ke kelompoknya. Kejadian ini yang mengilhami meraka untuk tidak menguburkan jenazah orang yang sudah meninggal. Anggota kelompok sesekali masih menengok pondok dimana jenazah tersebut diletakan, mereka menengok dari jarak jauh untuk memastikan keadaan jenazah. Dalam hal ini yang menjadi tabu buat mereka, yaitu pelarangan menyebut rekan/keluarganya yang sudah meninggal dunia karena hal ini akan membuat mereka merasa kembali kepada kesedihan yang mendalam. Mereka mengatakan janganlah kawan sebut-sebut lagi orang yang sudah mati.
     
    Kini terdapat tiga kategori kelompok pemukiman Suku Anak Dalam. Pertama yang bermukim didalam hutan dan hidup berpindah-pindah. Kedua kelompok yang hidup didalam hutan dan menetap. Ketiga adalah kelompok yang pemukimnya bergandengan dengan pemukiman orang luar ( orang kebiasaan ). Cara berpakaiannya pun kini bervariasi, yaitu: (1) bagi yang tinggal di hutan dan berpindah-pindah pakaiannya sederhana sekali, yaitu cukup menutupi bagian tertentu saja. (2) yang tinggal di hutan tetap menetap, di samping berpakaian sesuai dengan tradisinya, juga terkadang menggunakan pakaian seperti masyarakat umum seperti baju, sarung atau celana, (3) yang tinggal berdekatan dengan pemukiman masyarakat luar atau desa, berpakaian seperti masyarakat desa lainnya. Namun kebiasaannya tidak menggunakan baju masih sering ditemukan dalam wilayah pemukimannya.
      Suku Anak Dalam dalam lingkungan kehidupannya dikenal istilah kelompok keluarga dan kekerabatan, seperti keluarga kecil dan keluarga besar. Keluarga kecil terdiri dari suami istri dan anak yang belum menikah. Keluarga besar terdiri dari beberapa keluarga kecil yang berasal dari pihak kerabat istri. Anak laki-laki yang sudah kawin harus bertempat tinggal dilingkungan kerabat istrinya. Mereka merupakan satu kesatuan sosial dan tinggal dalam satu lingkungan pekarangan. Dengan kata lain suku ini juga penganut matrilinial, hal ini serupa dengan adat pada suku Minang yang mengharuskan pihak pria tinggal bersama dengan kerabat istri setelah menikah. Setiap keluarga kecil tinggal dipondok masing-masing secara berdekatan, yaitu sekitar dua atau tiga pondok dalam satu kelompok.

Kepercayaan Suku Anak Dalam terhadap Dewa-dewa roh halus yang menguasai hidup tetap terpatri, kendatipun diantara mereka telah mengenal agama Islam. Salah satu bentuk upacara ritual yang sering dilaksanakan adalah Besale (upacara pengobatan).

Benda/Wujud Fisik

     Adapun benda-benda atau dalam bentuk apapun yang menjadi ciri khas atau simbol khusus baik dari suku Minang maupun dari suku Anak Dalam Jambi, antara lain :

      Suku Minang

Upacara dan Festival

Turun mandi
Batagak pangulu
Turun ka sawah
Manyabik
Hari Rayo
Tabuik

Kesenian

Randai
Pencak Silat
Saluang
Talempong
Tari Piring
Tari Payung
Tari Pasambahan
Tari Indang
Sambah manyambah
Nasi Kapau

Kerajinan Tangan

Songket yang dikerjakan oleh Pandai Sikek

Makanan

Rendang
Rendang
Sambal Balado
Kalio
Gulai Cancang
Samba Lado Tanak
Palai
Lamang
Bubur Kampiun
Es Tebak
Gulai Itik
Gulai Kepala Ikan Kakap Merah
Sate Padang
Soto Padang
Asam Padeh
Keripik Jangek
Keripik Balado
Keripik Sanjai
Dakak-dakak
Galamai
Amping Badadih

      Suku Anak Dalam Jambi (Suku Kubu)

      Kuantitas jenis kerajinan tangan terbatas. Ada kerajinan yang dibuat dari bambu, daun, rotan, rumput, kayu dan kulit. Seperti tikar untuk membungkus barang atau sebagai tempat tidur, dan wadah untuk tempat makanan, ubi, kain, damar, madu, garam dan lain-lain. Wadah wadah berfungsi sebagai tempat menyimpan, untuk membawa barang dan untuk melengkapi sistem adat, atau sebagai alat tukar-menukar dalam upacara perkawinan. Kebanyakan tarian dan nyanyian adalah bagian upacara yang tidak terbuka bagi orang luar. Seorang Rimba bernyanyi lagu yang digunakan untuk mengambil sarang madu dari pohon yang tinggi.

Seperti yang telah disebutkan bahwa dalam kebudayaan juga terdapat peran manusia sebagai pelaksana. Alangkah baiknya jika pemahaman tentang pelaksana ini juga dijabarkan guna mempercepat proses pemahaman antara kebudayaan dengan manusia. 


Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Checker